Ditinjau dari sejarahnya, seni kaca patri merupakan ornamen arsitektur yang berasal dari Eropa. Penggunaan kaca warna pada jendela terutama untuk rumah ibadah (gereja) dimulai pada pertengahan abad ke-12. Pada zaman Gotik inilah, seni ini berada pada puncak kejayaannya.
Jauh sebelumnya, teknik pewarnaan pada kaca sudah dikenal di Mesir dan Mesopotamia pada milenium ketiga sebelum masehi. Yang kemudian berkembang pada masa Romawi.
Di Indonesia sebenarnya kita mengenal pula ornamen kaca patri ini. Namun, tidak jelas siapa yang membawa seni kaca patri ini ke Indonesia. Menariknya, sampai paruh pertama abad ke-19 kaca termasuk jenis barang mewah dan sangat mahal. Baik di Indonesia maupun di Asia, termasuk China dan Jepang.
Dari arsip laporan tahunan VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) di Batavia untuk kantor pusat di Amsterdam, terdapat beberapa catatan tentang impor barang-barang kaca dari Belanda atau Eropa. Barang-barang kaca itu untuk dijual atau diberikan sebagai hadiah kepada raja-raja atau sultan-sultan di Indonesia. Namun, VOC lebih banyak menjual atau memasok kaca ke India, China dan Jepang.
Pada 1675 VOC sempat memikirkan untuk mendirikan pabrik kaca di Batavia tetapi rencana itu tidak terwujud. Di Indonesia pun, bahan kaca tetap langka sampai awal abad ke-20, kecuali untuk kalangan terbatas. Baru sesudah 1910-an kaca semakin terjangkau dengan impor kaca dari Jepang.
Dapat dikatakan pada 1900-an merupakan awal penggunaan kaca patri selain di tempat-tempat ibadah. Pada masa ini kaca patri mulai digunakan untuk bangunan kantor, hotel dan rumah tinggal, terutama bangunan yang bergaya arsitektur art deco.
Berbeda dengan kaca patri di rumah-rumah ibadah, penggunaan kaca patri untuk rumah tinggal pada umumnya hanya menempati bidang kecil pada bagian bangunan yang disebut bovenlicht, yaitu jendela kecil yang bisa dibuka tutup. Panel kaca patrinya kecil-kecil dan terpasang pada kusen. Supaya kaca patri tampak alami maka kusennya juga dipelitur.
Di Indonesia kita bisa menemukan jejak seni kaca patri ini, terutama di Jawa. Misalnya di gereja Katedral Jakarta yang diresmikan pada 1901.
Menurut Han Awal, arsitek senior Indonesia, gereja ini dirancang pada 1891 oleh A. Dijkmans seorang pastor yang juga arsitek. Lantaran sakit dan harus kembali ke Belanda, maka pembangunannya dilanjutkan oleh M..J. Hulswit dari biro arsitek terkenal di Belanda, Fermon & Cuypers. Oleh karena itu di prasasasti depan gereja yang disebut hanya Cuypers-Hulswit sebagai arsiteknya.
Gaya arsitektur gereja ini adalah neo gotik karena merupakan “tiruan gaya Gotik”. Pada bagian Barat gereja ini kita akan menjumpai jendela rosetta besar yang dihiasi kaca patri indah.
Ornamen kaca patri juga dapat ditemui di gedung Museum Bank Indonesia yang dulu merupakan kantor Javasche Bank, cikal bakal Bank Indonesia. Gedung yang bergaya neo klasik ini sebelumnya adalah bekas rumah sakit Binnen yang dibangun pada 1828. Lagi-lagi perancang bangunan ini adalah oleh biro arsitek Fermont & Cuypers. K
husus di ruangan direktur yang dikenal dengan nama Ruang Hijau, di sana terpasang panel-panel jendela kaca patri berwarna-warni indah dengan gambar aneka produk alam. Produk alam itu merupakan komoditi yang diperdagangkan Belanda pada masa itu, seperti kopi, lada, timah, emas, kapas, karet, tebu.
Beberapa panel jendela hilang sehingga perlu waktu untuk mengetahui komoditi yang terdapat dalam panel tersebut.
Seluruh jendela kaca patri di museum Bank Indonesia itu dibuat oleh seniman Belanda bernama Ian Sihouten Frinsenhouf dari Delft. Saat ini panel-panel kaca patri di gedung museum Bank Indonesia sedang direstorasi oleh Eztu Glass Art, pimpinan Brian Yaputra & Freddy Sudjadi, dua maestro kaca patri Indonesia yang membawa seni kaca patri sejak 1981 kembali Indonesia.
Di Yogyakarta kita akan menjumpai hiasan kaca patri ini di Kraton Yogya. Terletak di bangsal Trajumas, bangsal ini memiliki fungsi penting untuk upacara dan sebagai ruang pengadilan. Hiasan kaca patri yang ada di sana bergaya Victorian dipadu dengan gambar alat musik seperti terompet, biola dan sejenis harpa.
Hiasan kaca patri juga dapat ditemui di Hotel Oranje di Surabaya, kelak berganti nama menjadi hotel MADJAPAHIT dan sekarang bernama Mandarin Oriental. Hotel ini diresmikan pada 1900 dan kaca patrinya juga direstorasi pada 1993. Begitupula dengan Hotel Sentral di Wonosobo. Kedua hotel tersebut pun telah direstorasi oleh EZTU GLASS ART.
Pada sebuah rumah peninggalan masa kolonial di Malang, kita juga dapat menjumpai kaca patri dengan desain yang terinspirasi dari Frank Lloyd Wright. Demikian pula dengan bangunan-bangunan rumah di Surabaya yang menggunakan ornamen kaca patri bergaya Mondriaan. Dengan ciri khas garis segi empat tetapi warnanya berbeda.
Bangunan mesjid pun tak luput dari sentuhan ornamen kaca patri. Misalnya Masjid Menara Kudus yang sebenarnya bernama Masjid Al-Aqsha. Berdasarkan inskripsi dalam bahasa Arab, masjid ini didirikan pada 1549 oleh Ja’far Shadiq atau Sunan Kudus. Pada 1925 bagian depan masjid ditambah bangunan baru berupa serambi.
Pada 1933, bagian serambi itu disambung lagi dengan bangunan baru yang juga berupa serambi. Serambi ini memiliki mimbar kubah bercorak arsitektur bangunan India. Disekelilingnya dihiasi kaca patri yang indah dan unik. Panel-panel kaca patri yang menghiasinya merupakan kombinasi motif gaya art deco dengan kaligrafi huruf-huruf Arab. Di sana tertulis nama-nama sahabat Nabi Muhammad SAW, seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, serta empat orang imam mazhab (Hanafi, Hambali, Syafi’i dan Maliki), dll.
Gereja St Paulus di Bandung yang dibangun tahun 1919 hasil rancangan arsitek Belanda C.P. Schoemaker juga memanfaatkan keindahan kaca patri. Lukisan Yesus dan Bunda Maria dalam paduan warna-warna indah memberi kesan lebih religius yang khusyuk dalam gereja.
Selain itu penggunaan kaca patri secara besar-besaran digunakan di aula barat dan timur Technische Hoogeschool Bandoeng (sekarang Institut Teknologi Bandung). Itu merupakan hasil rancangan Ir Mclaine Pont. Ia sengaja menggunakan warna kaca yang putih bersih.
Dengan alasan supaya sinar matahari dari luar bisa masuk. Sehingga ruangan menjadi lebih terang tanpa terasa panas dan silau. Demikian pula dengan bangunan hotel Savoy Homann yang pada waktu renovasi 1939 dirancang oleh A.F. Aalbers juga menggunakan ornamen kaca patri.
Bila kita cermati gaya kaca patri (khususnya rumah) yang dominan adalah gaya modernisme dari Piet Mondriaan , salah satu pelopor De Stijl, majalah seni di Belanda yang terbit 1917. Tokoh De Stijl lainnya adalah Theo van Doesburg (1883-1931) yang sempat mengunjungi arsitek Amerika Frank Lloyd Wright.
Frank Lloyd Wright (1867-1959) adalah salah satu pelopor aliran modernisme dalam arsitektur di Amerika. Aliran ini mengembangkan gagasan fungsional, bentuk mengikuti fungsi (form follow function). Bagian bangunan tanpa fungsi serta unsur dekorasi tanpa fungis tabu dibuat. Sehingga keindahan timbul karena pancaran komposisi elemen-elemen berfungsi.
Kemungkinan besar aliran ini sangat berpengaruh pada arsitek-arsitek di Belanda. Yang kemudian membawanya masuk ke Indonesia. Mereka menyesuaikan dengan budaya dan iklim setempat. Seperti pada karya-karya Cuypers, Karsten, Henri Maclaine Pont (1884-1971), C.P. Wolff Schoemaker (dosen dan pembimbing Soekarno waktu mahasiswa).
Para arsitek inilah yang “membangun” kota , merancang dan merenovasi berbagai bangunan di kota-kota besar Jawa seperti Bandung, Batavia, Surabaya, Semarang. Bisa jadi pula seni kaca patri digunakan mereka sebagai bagian ornamen rancangan arsitektur yang disesuaikan dengan fungsi. Memanfaatkan sinar matahari tropis sehingga cahayanya yang masuk menembus panel-panel kaca patri seolah menari dengan indah.
Memang kaca patri sejak diciptakan telah mempesona dan terbukti memberi keindahan. Demikian pula kaca patri di setiap rumah ibadah menimbulkan perasaan yang khusyuk, damai kepada umatnya. Kedamaian dan keindahan ini juga diterapkan oleh para desainer di setiap lokasi yang mereka perlukan. Maka seni kaca patri hingga saat ini tidak pernah.pudar, malahan selalu dapat disesuaikan dengan gaya desain arsitektur yang sedang trendy.
Dimuat dalam INA Magazine Vol.XVII. no.1